Merupakan nikmat dan
anugerah yang besar bagi seorang muslim dapat berjalan di atas kebenaran,
mencari ridha Allah dan menggapai surga-Nya kelak. Dalam perjalanan seorang
muslim, tak jarang dirinya lupa sehingga perlu diingatkan, kadang juga ia lalai
sehingga membutuhkan teguran, belum lagi apabila ia keliru sehingga ia mencari
pelita yang dapat meluruskan langkah dan arahnya. Berikut ini penulis mengajak
dirinya dan ikhwah sekalian untuk merenungi lagi ayat-ayat Allah, hadits-hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bimbingan pemahaman Salafush
Shalih. Menyegarkan kembali ingatan kita bersama tentang kemuliaan ibadah
melalui tholabul ilmi (menuntut ilmu syar’i), agar semangat tak menjadi surut,
terlebih di hadapan berbagai ujian dan cobaan kehidupan duniawi. Semoga dapat
bermanfaat khususnya bagi diri penulis dan bagi seluruh pembaca, amin…
Saudaraku…, Islam menjelaskan kedudukan yang tinggi nan mulia tentang keutamaan
ilmu. Banyak ayat dan hadits serta perkataan serta kisah teladan para ulama
salaf yang menunjukkan hal ini. Di antaranya adalah:
Menggapai Kemuliaan
Dengan Ilmu Syar’i
Allah Ta’ala
berrfirman,
يَرْفَعِ
اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang
diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ath Thabari rahimahullah
berkata, “Allah mengangkat derajat orang beriman yang berilmu di hadapan
orang beriman yang tidak berilmu karena keutamaan ilmu mereka (jika mereka
mengamalkan ilmu tersebut, pent).” (Tafsir Ath-Thabari, QS
Al-Mujadilah: 11)
Asy-Syaukani rahimahullah
berkata, “Yaitu derajat yang tinggi dengan kemuliaan di dunia dan pahala di
akherat.” (Tafsir Asy-Syaukani; QS Al-Mujadilah: 11)
Suatu hari Nafi’ bin
Abdul Harits mendatangi Amirul Mukminin (Umar bin Al Khattab) di daerah ‘Usfan
(saat itu Umar tengah mempercayakan kepemimpinan Mekah kepada Nafi’).
Umar bertanya, “Siapa
yang engkau jadikan penggantimu -sementara waktu- bagi penduduk Mekah?”
Nafi’ menjawab, “Ibnu Abza.”
Umar bertanya, “Siapa Ibnu Abza?”
Nafi’ menjawab, “Seorang budak.”
Umar bertanya kembali, “Engkau telah memberikan kepercayaan tersebut kepada
seorang budak [?]“
Nafi’ mengatakan, “Sesungguhnya budak tersebut adalah seorang hafizh
Al-Qur’an dan sangat mengilmui faraidh (yakni hukum-hukum islam)”
Kemudian Umar berkata, “Sungguh Nabi kalian telah berkata: “Sesungguhnya
Allah mengangkat derajat sebagian manusia dengan Al-Qur’an dan merendahkan
sebagian yang lain karenanya.” (Shahih Muslim: 817)
Ibrahim Al-Harbi
berkata: Seseorang bernama ‘Atha’ bin Abi Rabah adalah budak berkulit hitam,
milik seorang wanita penduduk Mekah. Hidung ‘Atha’ pesek seperti kacang (sangat
kecil). Suatu hari, Sulaiman bin Abdul Malik sang Amirul Mukminin bersama kedua
anaknya mendatangi ‘Atha’ yang sedang shalat. Setelah selesai dari shalatnya ia
menyambut mereka. Masih saja mereka asyik bertanya kepada ‘Atha tentang manasik
haji kemudian Sulaiman berkata kepada kedua anaknya “Wahai anak-anakku,
jangan kalian lalai dari menuntut ilmu. Sungguh aku tidak akan lupa telah
berada di hadapan seorang budak hitam (yang berilmu ini)”
Dalam kisah yang
lain Ibrahim Al-Harbi berkata, “Muhammad bin Abdurrahman Al-Auqash adalah
seorang yang lehernya sangat pendek sampai masuk ke badannya sehingga kedua
bahunya menonjol keluar. Dengan penuh perhatian dan kasih sayang ibunya
berpesan, “Wahai anakku, sungguh kelak setiap kali engkau berada di sebuah
majelis engkau akan selalu ditertawakan dan direndahkan, maka hendaklah engkau
menuntut ilmu karena ilmu akan mengangkat derajatmu.” Ternyata (ia mematuhi
pesan ibunya, pent) sehingga suatu saat dipercaya menjadi Hakim Agung di Mekah
selama dua puluh tahun.” (Lihat Tarikh Baghdad 2: 309, Miftah Daris
Sa’adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah 1: 501-502)
Al-Muzani berkata,
“Aku pernah mendengar Imam Syafi’i berkata: ‘Barangsiapa mempelajari Al-Qur’an
maka akan mulia kehormatannya. Barangsiapa mendalami ilmu fikih maka akan agung
kedudukannya, barangsiapa mempelajari bahasa (arab) maka akan lembut tabiatnya.
Barangsiapa mempelajari ilmu berhitung maka akan
tajam nalarnya dan banyak idenya. Barangsiapa banyak menulis hadits maka akan
kuat hujjahnya. Barangsiapa yang tidak menjaga dirinya, maka tidak akan
bermanfaat ilmunya.’ (Diriwayatkan dari Imam Syafi’i dari beberapa jalan, lihat
Miftah Daris Sa’adah 1: 503)
Menuntut Ilmu Adalah
Jalan Menuju Surga
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk
menuntut ilmu (syar’i), maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju surga.”
(HR. Muslim no: 2699 dari Abi Hurairah)
Beliau juga
bersabda, “Barangsiapa keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan
Allah sampai ia kembali.” (HR Tirmidzi no: 2323, Ibnu Majah no: 4112
dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no:
186 dari Anas)
Dengan Menuntut Ilmu
Segala Pintu Kebaikan, Maghfirah, dan Pahala Akan Dilimpahkan
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh
Allah, maka ia akan diberikan kepahaman tentang agama.” (HR Bukhari 1:
150-151, 6: 152, dan Muslim 1037 dari Mu’awiyah)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila anak cucu Adam meninggal dunia
maka terputus semua amalannya kecuali dari tiga hal: [1] shadaqah jariyah, [2]
ilmu yang bermanfaat, dan [3] anak shalih yang mendoakannnya.” (HR Muslim
1631 dari Abi Hurairah)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda, “…dan sesungguhnya para Malaikat akan
merendahkan sayap-sayap mereka bagi penuntut ilmu sebagai tanda ridha terhadap
apa yang mereka lakukan. Sungguh seorang yang berilmu akan dimintakan ampun
baginya oleh semua yang ada di langit dan bumi sampai pun ikan di lautan.
Keutamaan seorang yang berilmu atas seorang ahli ibadah bagaikan keistimewaan
bulan di hadapan bintang-bintang. Para ulama adalah pewaris para Nabi. Para
Nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, mereka hanya mewariskan ilmu.
Barangsiapa yang dapat mengambilnya, sungguh ia telah meraih bagian yang
banyak.” (HR Abu Daud no: 3641-2, At-Tirmidzi no: 2683, Ibnu Majah no: 223,
dishahihkan Ibnu Hibban no: 80)
Ilmu ini adalah
anugerah. Oleh karena itu, mari kita bersama menjaganya dengan baik.
Mengikhlaskan hati mensucikan niat agar Allah menambahnya serta melimpahkan
berkah di dalamnya, وقل رب زدني علما
“Dan katakan, Wahai Rabb tambakanlah bagiku ilmu.” (QS Thoha: ayat 114)
Jangan sampai
kemurniannya terkotori dengan bisikan ambisi materi atau buaian kemewahan
duniawi. Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengingatkan kita dengan dalam sebuah hadits, “Barangsiapa mencari ilmu yang
seharusnya dicari untuk mengharapkan wajah Allah, namun ternyata ia tidak
mempelajarinya melainkan untuk mendapatkan satu tujuan dunia, maka ia tidak
akan mencium wanginya surga pada hari kiamat.” (HR Abu Daud no: 3664 dengan
sanad yang shahih, Ibnu Majah no: 252, Ibnu Hibban no: 89, dll)
Kiat Menjaga Ilmu
Para ulama salaf
menjelaskan bahwa di antara kiat menjaga kenikmatan mulia ini adalah dengan:
1. Selalu
bersemangat dalam menuntut ilmu dan tidak merasa bosan
Imam Syafi’i rahimahullah
berkata, “Seseorang tidaklah berhasil menuntut ilmu (dengan baik) apabila dia
selalu merasa bosan, seakan tidak membutuhkannya. Akan tetapi, seseorang akan
berhasil menuntut ilmu jika melakukannya dengan perjuangan dan susah payah,
penuh semangat dan hidup prihatin.” (Hilayatul Auliya karya Abu Nu’aim;
9: 119, Al-Madkhal karya Al-Baihaqi; no: 513, Tadribur Rawi karya
As-Suyuthi; 2: 584)
Dalam Diwannya
beliau juga membawakan syair
أخي لن تنال العلم
إلا بستـتة # سأنبيك عن تفصيلها ببيان # ذكاء وحرص واجتهاد وبلغة #
وصحبة أستاذ وطول زمان
Wahai saudaraku…,
engkau takan mendapatkan ilmu melainkan dengan (memperhatikan) enam hal… Aku
akan menyebutkannya secara rinci: [1] harus memiliki kecerdasan, [2] memiliki
semangat, [3] bersungguh-sungguh, [4] membutuhkan biaya/materi, [5] mendapat
bimbingan guru (ustadz), dan [6] membutuhkan waktu yang panjang. (Diwan
Asy-Syafi’i)
2. Mengamalkan ilmu
yang telah kita dapatkan
Amr bin Qays
berkata, “Jika sampai kepadamu suatu ilmu, maka amalkanlah meskipun hanya
sekali.” (Hilyatul Auliya karya Abu Nu’aim 5: 102)
Imam Waki’ berkata,
“Jika engkau hendak menghafal satu ilmu (hadits), maka amalkanlah!” (Tadribur
Rawi karya As-Suyuthi 2: 588)
Imam Ahmad berkata,
“Tidaklah aku menulis suatu hadits melainkan aku telah mengamalkannya. Sehingga
suatu ketika aku mendengar hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melakukan hijamah (bekam) dan memberikan upah kepada ahli bekam (Abu
Thaybah) satu dinar, maka aku melakukan hijamah dan memberikan kepada ahli
bekam satu dinar pula.” (Ibnul Jauzi menyebutkannya dalam Manaqib Ahmad,
hal: 232)
3. Senantiasa
mengingat dan mengulang-ulang ilmu
Ali bin Abi Thalib
berkata, “Ingat-ingatlah (ilmu) hadits. Sungguh jika kalian tidak melakukannya
maka ilmu akan hilang.” (Al-Muhadditsul Fashil karya Ar-Ramahurmuzi hal:
545)
Ibnu ‘Abbas berkata,
“Mengulang-ulang ilmu di sebagian malam lebih aku cintai daripada menghidupkan
malam (dengan shalat malam) (Sunan Ad-Darimi; 1: 82 dan 149)
Az-Zuhri berkata,
“Gangguan ilmu adalah lupa dan sedikitnya muraja’ah (mengulang-ulang).” (Sunan
Ad-Darimi, 1: 150)
***